Suatu pagi beberapa hari yang lalu pintu rumah saya diketuk beberapakali. Ketika saya buka pintu, sepasang suami istri ada di depan rumah saya dengan wajah penuh kekhawatiran. Saya pun mempersilahkan keduanya untuk masuk. Saya sangat kenal dengan si suami karena termasuk tokoh agama di kampung saya.
“Begini mas” ujar si suami memulai cerita.
“Kami punya puteri, (sebut saja namanya Juminten). Perilakunya beberapa bulan ini membuat kami sangat prihatin.”
“Perilakunya bagaimana ustadz?” tanya saya memperjelas permasalahannya.
“Anak kami itu terlalu tomboy” ujarnya melanjutkan. “Kami sadar betul bahwa sikapnya seperti itu karena salah pergaulan. Tapi yang jadi masalah, yang bikin kami prihatin adalah sejak lulus sekolah beberapa bulan lalu ia seringkali mengatakan bahwa kami bukan orangtuanya”.
Sejenak ustadz tersbut pun nampak menghela nafas panjang lalu dihembuskan dengan keras. Seolah ada satu beban yang ingin ia buang jauh-jauh. Di sampingnya, istri ustadz tersebut hanya tertunduk, seolah tak tahu apa lagi yang harus dia lakukan dengan beban seperti itu.
“Yang lebih parah lagi. Akhir-akhir ini Juminten berkali-kali mengatakan bahwa dia bukanlah orang Islam”. ujarnya berat dengan nampak ada titik air di ujung kedua matanya. “dunia rasanya runtuh mas. Wong sampean tahu mas, saya di sini dikenal banyak orang”.
“Selama ini usaha apa saja yang sudah sampean lakukan?” tanyaku penasaran.
“Dulu saya pernah minta tolong seorang ustadz buat meruqyah dari *sensor*, bukannya anak saya sembuh, malah wajah peruqyahnya ditempeleng sama anak saya”
Saya semakin antusias mendengar ceritanya. “Lho kok bisa gitu?”
“Anak saya marah. Bagi dia ini pelecehan agama. Dia kan ngaku bukan orang Islam, lha ini kok malah dibaca-bacakan al-Qur’an. Begitu alasan anak saya yang marah” jelas si suami tersebut.
“Karena saking jengkelnya, juminten ini pernah saya masukkan ke rumah sakit jiwa lho mas”. Ujar lagi.
Singkat cerita, sebagaimana permintaan suami-istri tersebut, pada hari yang ditentukan, saya pun mendatangi rumah yang bersangkutan. Juminten pun datang. Saya tak serta merta meruqyahnya. Saya ajak ngobrol dulu hal-hal ringan, padahal sebagai salah satu pasukan bawah tanah Surabaya, dalam obrolan tersebut saya sembari mendeteksi hal-hal non medis di tubuh Juminten.
Setelah Juminten merasa nyaman dengan obrolan ringan. Saya pun menawarkan untuk membantu. “Mbak, misalnya…. Ini misalnya lho. Kalau di tubuh sampean ada hal-hal yang sifatnya negatif, mau nggak kalo dikeluarkan?” tanya saya memancing.
Mungkin karena sudah merasa nyaman, juminten pun menjawab tanpa piker panjang, “Ya malah seneng mas, monggo”.
Tak perlu lama, bergegas saya membaca ayat-ayat ruqyah standart, karena sebenarnya ketika saya deteksi tadi ada Jin Imut yang sedang bersembunyi. Baru saja saya ruqyah, juminten langsung muntah darah.
“Mas, ini saya lihat ada dua ular dalam tubuh saya keluar mas” ujarnya sedikit takut ketika proses ruqyah berlangsung. Saya pun terus membaca-baca ayat-ayat ruqyah, bersamaan dengan itu juminten terus muntah berkali-kali.
Karena proses ini lumayan alot. Ruqyah pun saya hentikan untuk hari itu. Alhamdulillah, sejak saat itu emosinya tak meledak-ledak lagi. Bahkan Juminten bercerita, sebelumnya kalau dia melihat orangtuanya seolah melihat musuhnya. Tapi alhamdulillah sekarang tidak demikian.
Sejatinya, seorang peruqyah sama sekali tidak bisa menyembuhkan. Allah-lah yang menyembuhkan. Walaupun saya sudah berupaya keras, namun jika Allah untuk hari itu hanya mengizinkan kesembuhannya sampai disitu dahulu, siapa yang bisa merubahnya?.
Saat ini, sebagaimana SOP kasus-kasus berat di JRA, maka Rencana Tindak Lanjut (RTL) untuk penangan Juminten masih terus berlangsung hingga saat ini. RTL sangat diperlukan untuk kasus-kasus tersebut. Mohon bantuan doa dari para pembaca sekalian, semoga Allah memberikan kesembuhan pada Juminten dan mengembalikannya kembali pada agama Islam.
Mbah Gimbal
JRA Team RASA Surabaya
Barokalloh.. Salam hangat dri JRA Batoro Katong Ponorogo.. ?